
"Most of the trouble in the world is caused by people wanting to be important"
T.S. Eliot
T.S. Eliot
Apa sih hal yang paling sulit untuk dilepasin ? Resleting macet ? Celana jeans super skinny pas kebelet boker ? atau mantan yang ngangenin ? Gue rasa bukan itu semua jawabannya, tapi yang tersulit untuk dilepas adalah gengsi.
Hampir tiap hari gue berangkat ke kantor cuma make sendal jepit warna abu-abu, pinggirnya udah lusuh kecoklatan karena keseringan kena cipratan air ujan. Emak gue pernah bilang, 'Heh, kamu itu mau kerja apa mau nyangkul ? Masa ke kantor cuma pake sendal ?'. Gue cuma senyum-senyum, langsung cium tangan emak gue dan ngeloyor pergi.
Gue make sendal karena waktu itu musim ujan. Mungkin bagi sebagian orang, berangkat ke kantor dengan sendal jepit dapat mengurangi tingkat ke-ketje-an seseorang, tapi make sepatu biar keliatan keren pas musim ujan bukanlah opsi yang masuk akal bagi gue. Gimana bisa keren kalo nyampe kantor sepatunya udah kaya bekas dipake relawan Basarnas buat blusukan di gorong-gorong. Mendingan gue pake sendal dan ganti sepatu di kantor, lagian orang di jalan juga gak peduli (kenal juga kaga) gue mau make sendal, sepatu, bahkan kaki katak sekalipun.
Gue sendiri gak terlalu peduli perkataan dan apa yang orang pikirin tentang gue, karena kebanyakan orang jarang mikir ketika ngomong. Gue juga termasuk orang yang 'bodo amat' dengan penampilan, asalkan gue gak telanjang di pinggir jalan atau make baju yang kombinasi warnanya bisa ngerusak jaringan retina separuh populasi kota, bagi gue itu gapapa. Karena berdasarkan pengamatan gue, orang pun gak peduli kita mau make baju apa, semodis apa, seketje apa, asalkan berpakaian normal orang akan bersikap sama kepada setiap warga sipil. Kecuali elu pake baju loreng-loreng hijau berbahan drill atau seragam coklat ketat sambil mengantongi revolver dan pentungan, ya, kemungkinan besar semua orang akan bersikap lebih ramah sama lu.
Banyak orang yang terlalu memikirkan pendapat orang lain terhadap dirinya, dan setiap orang ingin dianggap penting di mata orang lain. Malu rasanya kalo dianggap gak ketje sama orang lain, dianggap gak penting sama orang lain.
X : 'Liat tuh si Z, baju apa prasasti ? kok purba banget modelnya'
Y : 'Iya deh, coba liat tasnya, cewe kok pake ransel ? Minimal kaya tas kita donk, merek Herpes'.
Karena gengsi, keesokan harinya si Z langsung mengubah penampilannya dengan pakaian dan aksesoris mewah, rambutnya dicat hijau payau, hijabnya dibentuk seperti punuk onta yang sekali nyambit orang langsung gegar otak, bajunya penuh manik-manik macem gapura tujuhbelasan, tasnya dari kulit komodo, dan jadilah seperti Ratu Atut versi outbond.
Generasi sekarang itu generasi yang terlalu peduli dengan opini orang lain, generasi yang kemakan gengsi, dan penuh dengan pencitraan. Coba aja liat akun social medianya, banyak banget orang yang punya lebih dari satu akun social media (termasuk gue :p) cuma untuk membangun opini publik terhadap dirinya, padahal temennya itu-itu juga. Temen di fesbuk ya sama aja dengan temen di tuiter, temen di instagram ya sama dengan temen di fesbuk, temen di path juga sama dengen temen tuiter. Kecuali temen di Tumblr, itu beda, isinya kebanyakan makhluk astral dan sebagian lagi pengungsi Planet Namex.
Tiap akun social media dibuat dengan tujuan masing-masing, di fesbuk buat dagang, ngecek grup untuk nyari kisi-kisi atau sekedar stalking pacar orang, di tuiter buat menebar pencitraan -- ngetuit atau nge-retuit sesuatu-yang-gue-bingits (seperti ramalan zodiak/quotesnya Mario Tepung) buat pamer sifat, "Nih liat nih... gue bangett!!". Udah gitu, ngerasa gak mau kalah gaul dengan babi, soalnya babi aja udah nge-path (read : ngepet), dibuat lah path untuk update setiap detil kehidupan/sekedar share foto-foto repost dari tumblr/tuitpic orang. Tiap beli barang baru (gadget, sempak, tabung gas, petasan, dll) jangan lupa difoto dulu ditiap social media, biar semua orang tau dan mengganggap kastanya akan naik ketika memiliki item tersebut. Mau tidur aja ngupdate moment di path, dengerin lagu harus autoupdate di BBM, pergi ke jamban aja harus check-in di foursquare, makan nasi padang yang isinya cuma nasi sama kuah rendang harus difoto dulu di Instagram. Emangnya semua orang peduli ?
Ada alasan kenapa orang beli gadget yang setara dengan 3x gaji bulanannya, ada alasan kenapa orang rela makin nasi campur garem tiap hari demi nyicil mobilkaleng, ada alasan kenapa orang rela berjam-jam ngedit foto mukanya dengan kamera360 sebelum di upload di social media jadi budak hutang demi memenuhi gaya hidup yang maksimal dengan penghasilan pas-pasan. Semuanya karena gengsi, dan mereka terlalu peduli dengan apa yang orang lain pikirkan. Kita
gengsi kalo gak make gadget yang ada gambar apel bosoknya, kita malu
kalo bepergian dengan pakaian seadanya dan cuma bisa naik roda dua, kita
malu kalo gak beli kopi di kedai yang berlogo Duyung hijau, atau mengendap berjam-jam di warung fastfood berAC -- yah meskipun
cuma beli kentang goreng dan es float.
Manusia butuh dihargai dan dihormati, itu gak salah. Tapi kita seringkali kebablasan, beberapa dari kita terlalu membanggakan diri dengan 'perabot' yang kita punya. Kita juga ingin selalu 'menang' dari orang lain, ingin selalu dihormati, dan ingin selalu dilayani secara istimewa. Kita mati-matian melindungi diri kita biar gak disinggung orang lain, biar gak direndahin atau dihina. Kita berpikir kalo punya barang mewah yang jarang dimiliki orang lain, kita merasa lebih superior daripada orang lain, seolah-olah kasta kita akan naik satu tingkat, dan tingkat ketampanannya bertambah 1 derajat. Itulah kenapa orang-orang ingin keliatan berkelas/kaya, meskipun dengan cara ngutang.
FYI : Utang/kredit yang dimaksud postingan ini adalah utang/kredit untuk konsumsi bukan kredit untuk modal usaha/investasi.
Berdasarkan hasil riset Share of Wallet, 28 % masyarakat Indonesia berada dalam kategori "Broke", atau kelompok yang pengeluarannya lebih besar ketimbang pendapatannya, sehingga mengalami defisit sekitar 35 persen. Rata-rata pendapatan mereka Rp 4,3 juta per bulan, sementara pengeluaran mereka mencapai Rp 5,8 juta. Ini menimbulkan defisit mencapai Rp 1,5 juta. Mereka meminjam uang agar bisa membeli barang yang dapat menaikkan status sosial mereka.
"Tipe Broke memiliki kecenderungan ingin menaikkan status menjadi upper class. Ini membuat mereka meminjam uang dan utang agar bisa membeli barang yang dapat menaikkan status sosial mereka," kata Deputy Managing Director Kadence International-Indonesia Rajiv Lamba di Hotel Four Seasons, Jakarta, Rabu (20/11).
Gue sendiri masih gak paham dengan logika orang yang rela beli barang mahal yang mereka gak perlu dengan uang yang mereka gak punya (ngutang) cuma untuk membuat pencitraan dan mengesankan orang lain yang belum tentu mereka suka. Orang lain pun (objek pencitraan) belum tentu peduli juga dengan barang yang mereka beli. Padahal untuk hidup bahagia, perkataan orang lain gak berpengaruh besar dalam perubahan hidup kita. Jangan sampe pendapat orang lain jadi penentu gaya hidup, cara berpenampilan, bahkan kebahagiaan kita.
Gue ambil contoh nih, misalnya si A baru beli Iphone 5 secara kredit dengan penghasilan yang cuma dua koma -- iya, tanggal dua udah koma. Ketika pertama kali pamer gadget barunya, mungkin akan ada satu atau dua orang yang terkesima, "Wih, gilee... Iphone 5, bro !! Boleh gue banting gak ?". Di kesempatan bertemu selanjutnya orang akan biasa-biasa aja, dan seterusnya orang mulai gak peduli dia mau pake Esia Hidayah, bahkan HP China yang ada TVnya sekalipun. Bayangin, padahal si A udah mati-matian nyicil Iphone 5 supaya terlihat keren di antara temen-temennya sampe mandi-nyuci-sikat gigi dikombo pake sabun colek, tapi hasilnya cuma bisa mengesankan dipertemuan pertama doank. Apa gak rugi tuh ? Apa gak lebih baik duitnya ditabung ? Untuk bayar kos-kosan setaun, untuk modal usaha, atau kawin lagi, mungkin ?
And the worst impact is that people think it's okay to take something small from you, because they think you're some rich, wealthy, well-funded greedy bastard.
Lanjut dari contoh di atas, misalnya HP si A dipinjem temennya buat maen flappy bird, gak taunya malah dipake nelpon pacarnya yang jadi TKI di Malon tanpa bilang ke si A, karena temennya ini berpikir kalo si A itu orang kaya dan ngabisin pulsa si A sampe 100 rebu itu gakpapa, toh duit segitu mungkin gak berarti buat si A, padahal aslinya duit segitu berarti banget, men, dan HP berlogo apel bosok itu aja dapet kridit. Logika ini (mungkin) sering dipake sama maling buat menghilangkan sifat ibanya pada korban, mereka berpikir nyolong motor di rumah besar itu gakpapa, karena cuma motor, pasti yang punya bisa beli lagi. Padahal maling itu gak tau, bisa aja rumah yang besar itu ternyata hasil harta gono-gini.
Ironis, karena nyatanya sifat konsumerisme seperti inilah yang membuat Endonesa bertahan di krisis global taun 2008. Pola hidup konsumtif seperti ini yang dibutuhkan Lembaga Pendanaan untuk mengeruk keuntungan.
Perusahaan Consumer Credit yang kian menjamur juga bisa jadi pemicu pola hidup konsumtif itu sendiri. Coba lu liat, di tiap lampu merah banyak sekali orang yang ngebagiin pamflet/selebaran tentang pembiayaan cepat tanpa DP dengan bunga 'ringan'. Jenis pembiayaan yang ditangani pun variatif, dari kredit HP, motor, ambulan, kapal pesiar, sampe pulau pribadi. Orang yang tadinya gak mampu untuk beli secara cash, akhirnya berpikir kembali. 'Kayaknya gue bisa deh nyicil Jet pribadi'. Dengan sedikit rayuan beracun dari bibir tipis sales marketing yang dikejer target bulanannya, akhirnya orang yang tadinya gak ada niatan beli, malah jadi beli, dan rela makan nasi campur garem tiap hari demi nyicil Jet pribadi.
"Advertising has us chasing cars and clothes, working jobs we hate so we can buy shit we don't need. We're
the middle children of history, man. No purpose or place. We have no
Great War. No Great Depression. Our great war is a spiritual war. Our
great depression is our lives. We've all been raised on television to
believe that one day we'd all be millionaires, and movie gods, and rock
stars, but we won't. And we're slowly learning that fact. And we're very, very pissed off." - Tyler Durden, Fight Club (1999)
Selain karena sifat konsumerisme yang dimiliki, rayuan sales marketing juga berpengaruh dalam penentuan keputusan seseorang untuk membeli barang. Mereka (sales marketing) dikejer target bulanan yang cukup tinggi dan diiming-imingi insentif yang luar biasa jika targetnya tercapai. Ini yang membuat mereka melakukan agresi-agresi ekspansif terhadap konsumen, terutama yang udah pernah repeat order (kredit lebih dari sekali). Makanya konsumen yang udah pernah kredit dan lancar pinjamannya, sering ditelponin untuk kredit lagi. Mereka gak peduli masyarakat kita jadi sekonsumtif apa, lu mau makan nasi campur garem tiap hari, mandi-cuci-sikat gigi dikombo dengan sabun colek sekalipun demi nyicil Kapal Pesiar. Asalkan target tercapai, dan bonus/insentif tahunan cair, gak masalah.
Kebetulan temen gue ada yang kerja di salah satu perusahaan pendanaan otomotif, katanya target penjualan motor di kantornya sekitar 1500 unit/bulan. Itu baru 1 perusahaan pendanaan, belum dari perusahaan lain, dan merk motor lain. Bayangin, motor segitu kalo diparkirin bisa penuh satu alun-alun kota, gimana kalo setaun ? Gimana kalo motor-motor itu ternyata alien refugee dari Cybertron dan termasuk Decepticon ? Mampus kita, gan.
Oke, gue terlalu banyak mengkhayal...
Temen gue yang lain pernah bilang, bahwasanya mau tampil gaya itu gak perlu mahal. Dia sendiri punya alternatif lain untuk tampil gaya, yaitu dengan cara beli barang seken. Menurut dia, lu mau make barang baru atau seken, orang pun gak akan ada yang nanya. Bahkan orang yang naek SUV pun masih suka beli barang second di pasar barang bekas, karena mereka tau asalkan barang seken yang dibeli adalah produk branded original, orang gak akan sadar itu barang bekas, mereka cuma tau itu produk branded.
Kalo gue sendiri lebih menjunjung tinggi prinsip 'substance over form'. Baju itu kan tujuannya untuk menutup aurat, buat apa beli yang mahal-mahal ? Asalkan bukan kaos partai yang keteknya udah sobek, atau celana pendek yang selangkangannya bolong segede lubang buaya, ya gue pake aja. Pikir gue, 'Emangnya kalo pake baju bermerk mahal, kita langsung mendadak ganteng kaya Dude Herlino ?' Kalo emang muke lu udah dibawah standar toleransi kegantengan, mau make blazer merk Zoro, celana merk Armani, sampe sepatu handmade dari Pierre Cardin pun gak akan merubah fakta bahwa muke lu tetep mirip pantat wajan keseret aspal. Kecuali lu beli baju zirah yang dipasangin jimat, semakin mahal semakin kuat.
Gue sendiri lebih suka beli kaos polos gak bermerek, karena harganya murah, nyaman dan ngebuat gue bisa bergerak bebas tanpa takut tembus dan bocor. #Loh? Kalo ada kaos bermotif, biasanya itu hasil hibah dari emak gue pas lebaran, atau hadiah dari es orson. Kalo kemeja/batik, gue lebih suka bikin sendiri di tukang jait, karena bisa dicustom sesuai keinginan gue. Mau kancingnya diganti resleting atau gembok bisa, mau pake kerah mandarin atau model Akatsuki juga bisa, bahkan bagian keteknya mau ditambal pake bahan dri-fit berpori biar gak gerah dan kerahnya dibikin di tengah udel juga bisa. Celana bahan juga sama, gue lebih sering bikin ketimbang beli, soalnya kalo beli pasti gue potong lagi bawahnya. Maklum, pertumbuhan gue kesamping bukan keatas :p
Idealnya, kebutuhan (sandang/pangan/papan/kayu/lemari) itu dipenuhi berdasarkan kemampuan (daya beli) yang dimiliki, bukan 'gaya beli'. Seseorang harus tau daya beli yang ia punya, dan bisa ngebedain antara kebutuhan dan keinginan. Lalu ia harus berpikir secara rasional dalam menentukan barang apa yang harus dibeli dan ingin dibeli sesuai skala prioritas. Jangan sampe, ketika lo kehabisan sempak dan pergi ke minimarket dengan uang pas-pasan, malah jadi beli beha karena seneng ngeliat warna atau motifnya yang unyu-unyu. Akhirnya lo kepaksa make beha diselangkangan. Aneh kan ? ya iya, jangan dibayangin.
Tapi masyarakat sekarang sering kebalik logikanya, untuk ngebedain yang mana kebutuhan dan yang mana keinginan mereka gak pake skala prioritas, tapi skala gengsi, meskipun daya beli pas-pasan. Akhirnya mereka memilih jalan sesat, dengan ngutang ke setan kridit, jual ginjal atau lebih parahnya berani make 'uang panas'.
Pernah punya temen yang Smartphonenya canggih tapi gak punya pulsa, yang kalo nelpon minjem HP orang lain ?
Pernah liat orang nenteng Tablet tapi cuma dipake buat maen flappy bird ? Giliran makan di Warteg malah ngutang.
Pernah liat orang naik Alphard tapi ngisinya pake premium ? Mau gaya kok bersubsidi ?
Banyak orang yang terlalu memikirkan pendapat orang lain terhadap dirinya, dan setiap orang ingin dianggap penting di mata orang lain. Malu rasanya kalo dianggap gak ketje sama orang lain, dianggap gak penting sama orang lain.
X : 'Liat tuh si Z, baju apa prasasti ? kok purba banget modelnya'
Y : 'Iya deh, coba liat tasnya, cewe kok pake ransel ? Minimal kaya tas kita donk, merek Herpes'.
Karena gengsi, keesokan harinya si Z langsung mengubah penampilannya dengan pakaian dan aksesoris mewah, rambutnya dicat hijau payau, hijabnya dibentuk seperti punuk onta yang sekali nyambit orang langsung gegar otak, bajunya penuh manik-manik macem gapura tujuhbelasan, tasnya dari kulit komodo, dan jadilah seperti Ratu Atut versi outbond.
Generasi sekarang itu generasi yang terlalu peduli dengan opini orang lain, generasi yang kemakan gengsi, dan penuh dengan pencitraan. Coba aja liat akun social medianya, banyak banget orang yang punya lebih dari satu akun social media (termasuk gue :p) cuma untuk membangun opini publik terhadap dirinya, padahal temennya itu-itu juga. Temen di fesbuk ya sama aja dengan temen di tuiter, temen di instagram ya sama dengan temen di fesbuk, temen di path juga sama dengen temen tuiter. Kecuali temen di Tumblr, itu beda, isinya kebanyakan makhluk astral dan sebagian lagi pengungsi Planet Namex.
Tiap akun social media dibuat dengan tujuan masing-masing, di fesbuk buat dagang, ngecek grup untuk nyari kisi-kisi atau sekedar stalking pacar orang, di tuiter buat menebar pencitraan -- ngetuit atau nge-retuit sesuatu-yang-gue-bingits (seperti ramalan zodiak/quotesnya Mario Tepung) buat pamer sifat, "Nih liat nih... gue bangett!!". Udah gitu, ngerasa gak mau kalah gaul dengan babi, soalnya babi aja udah nge-path (read : ngepet), dibuat lah path untuk update setiap detil kehidupan/sekedar share foto-foto repost dari tumblr/tuitpic orang. Tiap beli barang baru (gadget, sempak, tabung gas, petasan, dll) jangan lupa difoto dulu ditiap social media, biar semua orang tau dan mengganggap kastanya akan naik ketika memiliki item tersebut. Mau tidur aja ngupdate moment di path, dengerin lagu harus autoupdate di BBM, pergi ke jamban aja harus check-in di foursquare, makan nasi padang yang isinya cuma nasi sama kuah rendang harus difoto dulu di Instagram. Emangnya semua orang peduli ?

Ada alasan kenapa orang beli gadget yang setara dengan 3x gaji bulanannya, ada alasan kenapa orang rela makin nasi campur garem tiap hari demi nyicil mobil
Manusia butuh dihargai dan dihormati, itu gak salah. Tapi kita seringkali kebablasan, beberapa dari kita terlalu membanggakan diri dengan 'perabot' yang kita punya. Kita juga ingin selalu 'menang' dari orang lain, ingin selalu dihormati, dan ingin selalu dilayani secara istimewa. Kita mati-matian melindungi diri kita biar gak disinggung orang lain, biar gak direndahin atau dihina. Kita berpikir kalo punya barang mewah yang jarang dimiliki orang lain, kita merasa lebih superior daripada orang lain, seolah-olah kasta kita akan naik satu tingkat, dan tingkat ketampanannya bertambah 1 derajat. Itulah kenapa orang-orang ingin keliatan berkelas/kaya, meskipun dengan cara ngutang.
FYI : Utang/kredit yang dimaksud postingan ini adalah utang/kredit untuk konsumsi bukan kredit untuk modal usaha/investasi.
Berdasarkan hasil riset Share of Wallet, 28 % masyarakat Indonesia berada dalam kategori "Broke", atau kelompok yang pengeluarannya lebih besar ketimbang pendapatannya, sehingga mengalami defisit sekitar 35 persen. Rata-rata pendapatan mereka Rp 4,3 juta per bulan, sementara pengeluaran mereka mencapai Rp 5,8 juta. Ini menimbulkan defisit mencapai Rp 1,5 juta. Mereka meminjam uang agar bisa membeli barang yang dapat menaikkan status sosial mereka.
"Tipe Broke memiliki kecenderungan ingin menaikkan status menjadi upper class. Ini membuat mereka meminjam uang dan utang agar bisa membeli barang yang dapat menaikkan status sosial mereka," kata Deputy Managing Director Kadence International-Indonesia Rajiv Lamba di Hotel Four Seasons, Jakarta, Rabu (20/11).
Gue sendiri masih gak paham dengan logika orang yang rela beli barang mahal yang mereka gak perlu dengan uang yang mereka gak punya (ngutang) cuma untuk membuat pencitraan dan mengesankan orang lain yang belum tentu mereka suka. Orang lain pun (objek pencitraan) belum tentu peduli juga dengan barang yang mereka beli. Padahal untuk hidup bahagia, perkataan orang lain gak berpengaruh besar dalam perubahan hidup kita. Jangan sampe pendapat orang lain jadi penentu gaya hidup, cara berpenampilan, bahkan kebahagiaan kita.
Gue ambil contoh nih, misalnya si A baru beli Iphone 5 secara kredit dengan penghasilan yang cuma dua koma -- iya, tanggal dua udah koma. Ketika pertama kali pamer gadget barunya, mungkin akan ada satu atau dua orang yang terkesima, "Wih, gilee... Iphone 5, bro !! Boleh gue banting gak ?". Di kesempatan bertemu selanjutnya orang akan biasa-biasa aja, dan seterusnya orang mulai gak peduli dia mau pake Esia Hidayah, bahkan HP China yang ada TVnya sekalipun. Bayangin, padahal si A udah mati-matian nyicil Iphone 5 supaya terlihat keren di antara temen-temennya sampe mandi-nyuci-sikat gigi dikombo pake sabun colek, tapi hasilnya cuma bisa mengesankan dipertemuan pertama doank. Apa gak rugi tuh ? Apa gak lebih baik duitnya ditabung ? Untuk bayar kos-kosan setaun, untuk modal usaha, atau kawin lagi, mungkin ?

And the worst impact is that people think it's okay to take something small from you, because they think you're some rich, wealthy, well-funded greedy bastard.
Lanjut dari contoh di atas, misalnya HP si A dipinjem temennya buat maen flappy bird, gak taunya malah dipake nelpon pacarnya yang jadi TKI di Malon tanpa bilang ke si A, karena temennya ini berpikir kalo si A itu orang kaya dan ngabisin pulsa si A sampe 100 rebu itu gakpapa, toh duit segitu mungkin gak berarti buat si A, padahal aslinya duit segitu berarti banget, men, dan HP berlogo apel bosok itu aja dapet kridit. Logika ini (mungkin) sering dipake sama maling buat menghilangkan sifat ibanya pada korban, mereka berpikir nyolong motor di rumah besar itu gakpapa, karena cuma motor, pasti yang punya bisa beli lagi. Padahal maling itu gak tau, bisa aja rumah yang besar itu ternyata hasil harta gono-gini.
Ironis, karena nyatanya sifat konsumerisme seperti inilah yang membuat Endonesa bertahan di krisis global taun 2008. Pola hidup konsumtif seperti ini yang dibutuhkan Lembaga Pendanaan untuk mengeruk keuntungan.
Perusahaan Consumer Credit yang kian menjamur juga bisa jadi pemicu pola hidup konsumtif itu sendiri. Coba lu liat, di tiap lampu merah banyak sekali orang yang ngebagiin pamflet/selebaran tentang pembiayaan cepat tanpa DP dengan bunga 'ringan'. Jenis pembiayaan yang ditangani pun variatif, dari kredit HP, motor, ambulan, kapal pesiar, sampe pulau pribadi. Orang yang tadinya gak mampu untuk beli secara cash, akhirnya berpikir kembali. 'Kayaknya gue bisa deh nyicil Jet pribadi'. Dengan sedikit rayuan beracun dari bibir tipis sales marketing yang dikejer target bulanannya, akhirnya orang yang tadinya gak ada niatan beli, malah jadi beli, dan rela makan nasi campur garem tiap hari demi nyicil Jet pribadi.
Selain karena sifat konsumerisme yang dimiliki, rayuan sales marketing juga berpengaruh dalam penentuan keputusan seseorang untuk membeli barang. Mereka (sales marketing) dikejer target bulanan yang cukup tinggi dan diiming-imingi insentif yang luar biasa jika targetnya tercapai. Ini yang membuat mereka melakukan agresi-agresi ekspansif terhadap konsumen, terutama yang udah pernah repeat order (kredit lebih dari sekali). Makanya konsumen yang udah pernah kredit dan lancar pinjamannya, sering ditelponin untuk kredit lagi. Mereka gak peduli masyarakat kita jadi sekonsumtif apa, lu mau makan nasi campur garem tiap hari, mandi-cuci-sikat gigi dikombo dengan sabun colek sekalipun demi nyicil Kapal Pesiar. Asalkan target tercapai, dan bonus/insentif tahunan cair, gak masalah.
Kebetulan temen gue ada yang kerja di salah satu perusahaan pendanaan otomotif, katanya target penjualan motor di kantornya sekitar 1500 unit/bulan. Itu baru 1 perusahaan pendanaan, belum dari perusahaan lain, dan merk motor lain. Bayangin, motor segitu kalo diparkirin bisa penuh satu alun-alun kota, gimana kalo setaun ? Gimana kalo motor-motor itu ternyata alien refugee dari Cybertron dan termasuk Decepticon ? Mampus kita, gan.
Oke, gue terlalu banyak mengkhayal...
Temen gue yang lain pernah bilang, bahwasanya mau tampil gaya itu gak perlu mahal. Dia sendiri punya alternatif lain untuk tampil gaya, yaitu dengan cara beli barang seken. Menurut dia, lu mau make barang baru atau seken, orang pun gak akan ada yang nanya. Bahkan orang yang naek SUV pun masih suka beli barang second di pasar barang bekas, karena mereka tau asalkan barang seken yang dibeli adalah produk branded original, orang gak akan sadar itu barang bekas, mereka cuma tau itu produk branded.
Kalo gue sendiri lebih menjunjung tinggi prinsip 'substance over form'. Baju itu kan tujuannya untuk menutup aurat, buat apa beli yang mahal-mahal ? Asalkan bukan kaos partai yang keteknya udah sobek, atau celana pendek yang selangkangannya bolong segede lubang buaya, ya gue pake aja. Pikir gue, 'Emangnya kalo pake baju bermerk mahal, kita langsung mendadak ganteng kaya Dude Herlino ?' Kalo emang muke lu udah dibawah standar toleransi kegantengan, mau make blazer merk Zoro, celana merk Armani, sampe sepatu handmade dari Pierre Cardin pun gak akan merubah fakta bahwa muke lu tetep mirip pantat wajan keseret aspal. Kecuali lu beli baju zirah yang dipasangin jimat, semakin mahal semakin kuat.
Gue sendiri lebih suka beli kaos polos gak bermerek, karena harganya murah, nyaman dan ngebuat gue bisa bergerak bebas tanpa takut tembus dan bocor. #Loh? Kalo ada kaos bermotif, biasanya itu hasil hibah dari emak gue pas lebaran, atau hadiah dari es orson. Kalo kemeja/batik, gue lebih suka bikin sendiri di tukang jait, karena bisa dicustom sesuai keinginan gue. Mau kancingnya diganti resleting atau gembok bisa, mau pake kerah mandarin atau model Akatsuki juga bisa, bahkan bagian keteknya mau ditambal pake bahan dri-fit berpori biar gak gerah dan kerahnya dibikin di tengah udel juga bisa. Celana bahan juga sama, gue lebih sering bikin ketimbang beli, soalnya kalo beli pasti gue potong lagi bawahnya. Maklum, pertumbuhan gue kesamping bukan keatas :p
Idealnya, kebutuhan (sandang/pangan/papan/kayu/lemari) itu dipenuhi berdasarkan kemampuan (daya beli) yang dimiliki, bukan 'gaya beli'. Seseorang harus tau daya beli yang ia punya, dan bisa ngebedain antara kebutuhan dan keinginan. Lalu ia harus berpikir secara rasional dalam menentukan barang apa yang harus dibeli dan ingin dibeli sesuai skala prioritas. Jangan sampe, ketika lo kehabisan sempak dan pergi ke minimarket dengan uang pas-pasan, malah jadi beli beha karena seneng ngeliat warna atau motifnya yang unyu-unyu. Akhirnya lo kepaksa make beha diselangkangan. Aneh kan ? ya iya, jangan dibayangin.
Tapi masyarakat sekarang sering kebalik logikanya, untuk ngebedain yang mana kebutuhan dan yang mana keinginan mereka gak pake skala prioritas, tapi skala gengsi, meskipun daya beli pas-pasan. Akhirnya mereka memilih jalan sesat, dengan ngutang ke setan kridit, jual ginjal atau lebih parahnya berani make 'uang panas'.
Pernah punya temen yang Smartphonenya canggih tapi gak punya pulsa, yang kalo nelpon minjem HP orang lain ?
Pernah liat orang nenteng Tablet tapi cuma dipake buat maen flappy bird ? Giliran makan di Warteg malah ngutang.
Pernah liat orang naik Alphard tapi ngisinya pake premium ? Mau gaya kok bersubsidi ?
Pernah liat pejabat korupsi karena gak bisa ngasih makan keluarganya ? Atau karena tuntutan hedonisme dan kelilit utang ?
Banyaknya PNS yang pungli juga diduga karena gajinya abis buat nutup utang di Bank. Bahkan sekarang pengemis juga gak mau kalah, udah ada yang ngemis bukan untuk nyari sesuap nasi, tapi karena gengsi untuk punya sebiji Jazz.
Gue curiga kayanya APBN yang disusun pemerintah kita itu gak berdasarkan skala prioritas, soalnya masih ada hal-hal yang kurang penting namun tetap dianggarkan di APBN kita, hal-hal yang sebenernya punya alternatif lain. Padahal yang namanya belanja itu harus disusun berdasarkan kemampuan (daya beli) dan sesuai skala prioritas. Logical fallacy seperti inilah yang membuat Endonesa terus dililit utang, menebar prinsip gali lobang tutup lobang.

Contohnya dana pemilu, tau besarnya berapa ? 167 Triliun. Jumlah segitu gak sedikit, men. Kalo dibeliin keripik Maicih, bisa dapet berapa ribu kontener ? Tapi sayangnya, pemerintah kita lebih seneng hambur-hamburin duit pembayar pajak demi selembar kertas untuk dicolok-colok pake paku tiap 5 taun sekali. Padahal kalo tata cara pemilihan Presiden kita udah dimodernisasi pake metode alternatif, seperti cukup dengan Hompimpa diantara capres dan cawapresnya, kan lumayan bisa ngehemat 167 Triliun tiap 5 tahun ? Dan kita tetep punya Presiden. Jenius gak gue ?

postingan lo ada kemajuan ya, mblo. Ga soal cinta-cintaan melulu :3
ReplyDeleteEmangnya elu, nggot. Gagal move-on, padahal pacaran juga gak pernah. Hahah
Deleteihir pinter banget ini jomblo. hahaha. dari gengsi sampai politisi, dibabat habis per substansi seperti indonesian idol tahap audisi!
ReplyDelete(gak nyambung. okebai.)
Iya, mblo. Blog lu kapan diupdate :D
Delete