Tiap buka fesbuk sekarang isinya muka salah satu di antara mereka
Gue udah jarang banget buka Sosmed sejak beberapa bulan yang lalu, terutama Path, karena gue tau paling isinya hanyalah foto makanan, selfie, dan location-tag untuk pamer rutinitas, kerjaan, dan kebahagian fiktif lainnya. Tapi sekalinya buka Facebook dan Twitter, mata gue hampir berdarah-darah ketika ngeliat banyak sekali pemberitaan absurd yang sengaja disebar secara terstruktur, sistematis, dan masif. Seperti sidang kasus Kopi Sianida yang mungkin bisa jadi lebih panjang dari Sinetron Tersanjung, terlalu banyak drama dan jadi gak masuk akal. Barang buktinya gak ada, saksi gak ada, dan rekaman gak menunjukkan apapun, tapi Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan 20 tahun penjara karena menganut paham Cocoklogi "Kalo bukan dia, terus siapa lagi?".
Terus ada Selebgram/Selebask yang kisah pertinjaannya lagi hangat-hangatnya tai ayam, salah satunya udah kena teguran dari KPAI. Sebut saja Alkalin, Anya Betadine, dan Parcel Kenya. Kesamaan dari ketiganya adalah mereka itu semacam exhibitionist yang suka memamerkan paha dan dada. Mereka ngehits di sosmed karena Relationshit Goals dan lifestyle mereka yang menuai kontroversi. Dari ketenaran itulah mereka mendapatkan pendapatan melalui iklan dan endorse. Sejujurnya, endorse paling cocok buat mereka sebenarnya adalah model ayam KFC, bukan parfum, baju, ataupun akesoris lainnya. Bagi sebagian remaja, ada yang menjadikannya Kiblat/role model, ada juga yang gak suka dengan mereka karena perilaku mereka di medsos gak patut dicontoh. Cacian yang diarahkan kepada mereka pun lucu-lucu, kalo lu baca komen di Youtubenya pasti bisa ngakak sampe keluar cepirit bening dari idung. Misalnya, komentar tentang dadanya si Alkalin katanya lebih kecil daripada nasi KFC, atau penampilan si Alkalin bareng Yonglek di video clip "Bad" yang lebih mirip papan triplek dikasih jaring, dan masih banyak lagi komentar tolol yang bikin lu ketawa sampe nangis. Gue pernah gak sengaja (karena muncul di dashboard youtube dan gue penasaran) liat video waktu si Alkalin mewek pas diputusin brondong mudanya. Gue bingung, kenapa video macam ini dapet puluhan ribu lebih view sementara gue nyari video PON kategori Sepeda Downhill gak nemuin satupun? Akhirnya gue googling untuk mengetahui siapa mereka, sekaligus menghilangkan rasa suudzon dan penasaran yang ada di benak gue. Setelah 15 menit googling tentang mereka bertiga, gue sadar dan menyesal karena gue udah ngebuang 15 menit hidup gue untuk nyari informasi yang gak penting dan gak relevan dengan hidup gue. Dari hasil browsing itu, ada beberapa quotes dari mereka yang bikin gue gagal paham, "Nakal boleh, bego jangan!" dan "Nakal boleh, asal gak pake narkoba!". Serius, ini quotes macam apa? Kalo nakal itu gapapa, bolehkan kita ninggalin orang dalam keadaan paling vulnerable pas dia lagi sayang-sayangnya sama kita, asalkan kita gak pake narkoba?

Selanjutnya ada perdebatan antara motivator botak dengan pesulap botak, keduanya memperebutkan nobel kebotakan. Di lain sisi, ternyata motivator botak bernama Mario Tepung sedang tersandung kasus dengan seorang laki-laki yang mengaku sebagai anak kandungnya, sementara si Botak tidak mengakui laki-laki itu sebagai anaknya. Padahal, tanpa perlu tes DNA dan cukup dengan melihat hidung dan bentuk wajahnya yang mirip toples kacang lebaran, sudah terlihat itu anak siapa. Anak layangan. Mungkin karena laki-laki itu gak botak kaya dia, makanya gak dia akui sebagai anak.

Lalu ada Kanjeng Dimas, manusia unik yang diberkati kekuatan Hand of Midas ini dipercaya mampu membuat uang bermitosis seperti masalah kalo terlalu banyak dipikirin. Di 2016, ketika Amerika mulai memikirkan cara membuat koloni di Mars, kemudian Rusia yang taun depan akan mencoba mentransplantasi kepala, dan negara maju lainnya sedang sibuk memikirkan bagaimana mengurangi dampak pemanasan global, sedangkan di Tanah Air kita tercinta, masih ada yang percaya dengan dukun pengganda uang. Ironinya, yang percaya dengan mukjizatnya Kanjeng Dimas itu bergelar Phd. Terus kuliah capek-capek sampe ke Amrik itu buat apa kalo ujung-ujungnya masih percaya sama hal seperti ini? Karena pada dasarnya, percaya ada orang yang bisa menggandakan uang itu sama aja kaya percaya kalo Jakarta bisa bebas dari macet dan banjir.

Terus ada AA Gitit yang kena kasus pelecehan seksual. AA Gitit ini adalah seorang pemimpin padepokan yang kerjaannya gak jelas tapi hartanya melimpah dimana-mana. Dia juga menjabat sebagai ketua Parfum meskipun gak pernah bikin film sebelumnya. Belakangan ini, mendadak dia bikin film yang ceritanya gak jelas, jauh lebih gak jelas dari cerita Setan esek-esek karya produser India yang sempat marak beberapa taun silam. Kalo lu punya duit dan berencana nonton filmnya di akhir pekan bareng pasangan lu, saran gue, mending lu batalin, dan uangnya lu pake buat ngisi e-money untuk keliling Jakarta pake Transjakarta sampe kaki lumpuh karena kelamaan berdiri.
Ada juga video viral seorang diplomat muda (yang katanya cantik) yang membalas pernyataan 2 Presiden dan 4 Perdana Menteri dengan ketus dalam forum PBB. Jujur, gue gak ngerti kenapa berita ini bisa jadi viral, karena argumentasinya (yang menurut gue biasa aja) ? Atau kecantikannya (yang menurut gue juga biasa aja) ?

Dan terakhir, yang paling heboh adalah pilgub DKI. Hampir semua orang membicarakannya, dari pegawai swasta, PNS, driver Gojek, penebar ranjau paku, sampe makhluk-makhluk fana yang tergabung dalam obrolan ringan di warung kopi pun ngomongin pilgub DKI. Dan gak sedikit, yang ngobrol itu malah jadi debat dan ribut sendiri. Ironinya, banyak yang ngeributin pilgub DKI itu ternyata bukan warga Jakarta sendiri. Yang ribut di sosmed jaulh lebih parah (padahal kenal juga engga), mereka maki-makian gak jelas, bawa-bawa ayat suci, dan memulai perdebatan rasis. Lucunya, pas diliat profilenya, ternyata mereka orang Bekasi dan Tangerang. Persis kaya fans MU di sini yang ngeributin kenapa MU beli pogba bukannya Titus Bonai, padahal mereka gak tinggal di Manchester. Menurut gue itu useless, mau berdebat sampe idung keluar sianida pun gak akan merubah keadaan, karena mereka gak akan bisa ikut pilgub DKI, yang ada malah bikin chaos dan menyebar kebencian yang gak penting.

Gue pernah kejebak di tengah perselisihan antara dua orang pegawai kantor pas turun di lift cuma gegara pilgub DKI, padahal keduanya tinggal di planet yang berbeda. Di dalem lift itu cuma ada kita bertiga, jadi kalo mereka tiba-tiba berdebat sampe jotos-jotosan dalem lift, gue bakal bingung. Bingung mau ikut jotosin yang mana. Haha.

Efek domino dari pemberitaan di sosmed tentang pilkada DKI itu cukup dahsyat. Apalagi setelah munculnya cuplikan video di kepulauan Seribu, kini masyarakat terbelah jadi dua kubu; Pro Petahana dan Anti Petahana. Anti Petahana itu semacam ABU (Asal Bukan Manchester United), hatersnya MU karena fansnya MU yang terkadang suka bersikap annoying terhadap klub lain. Sama kayak Pro Petahana, kadang kalo gue liat di sosmed, mereka suka annoying dengan cagub lain. Pembelaan terhadap petahananya pun udah mulai gila, pembenaran tafsir surat, framing berita, sampe memalsukan pernyataan dari seorang tokoh (Walkot Bandung dan Gubernur Papua) atau organisasi di daerah lain (Aksi pemuda Kupang yang menantang FPI). Namun, dari semua jenis aksi pembelaan yang ada, yang paling parah menurut gue adalah aksi killing the messenger. Sebut aja Bunny Yummy yang mengunggah cuplikan video di kep. Seribu, organisasi MIUI yang mengeluarkan pendapat terhadap penafsiran surat Almaidah 51 yang menegaskan akan adanya unsur penistaan Agama, dan media Tempe karena mengekspos tentang Reklamasi Teluk Jakarta. Karena gak bisa mengalahkan substansi pernyataan atau argumennya, akhirnya Pro Petahana melaporkan si Bunny Yummy dan menuntut dia karena dianggap menyebarkan kebencian. Begitu juga dengan MIUI, karena gak bisa mengalahkan pernyataannya, mereka mendeligitimasi MIUI dengan menyerang Ulamanya melalui bully-an dan menyebar isu-isu dari akun-akun buzzer dan media abal-abal, seperti mengangkat kasus sertifikasi halal dan beberapa kelakuan yang mereka anggap 'minus', yang sebenarnya gak relevan dengan isu utamanya. Termasuk media Tempe yang dulu sempet mengekspos Reklamasi Teluk Jakarta, media ini dihajar oleh cuitan di twitter dari yang-katanya-forensik-auditor terkait keuangan media Tempe yang sedang gak stabil. Intinya, kalo mereka gak bisa mematahkan pernyataan atau argumentasinya, mereka bakal nyerang si pembawa pesannya. They try to kill the messenger.

Di kampung halaman gue, ada seorang guru kimia SMA yang jadi die hard fansnya Jokowi dan Ahok. Tiap gowes sama dia, obrolannya pasti tentang Jokowi atau Ahok. Bahkan kalo gabung dengan komunitas lain pun, dia ngobrolin Jokowi dan Ahok. Kalo ada yang berbeda pendapat, pasti dia debat sampe orang itu males sendiri dan memutuskan minggu depan engga akan gowes bareng lagi. Di Facebooknya pun begitu, kalo gue perhatiin postingan yang dia share itu cuma dua; tentang Jokowi dan Ahok. Belakangan ini, dia jadi punya semacam musuh bebuyutan cuma gegara orang tersebut gak suka dengan Jokowi. Lebih absurdnya lagi, orang tersebut adalah guru di SMA yang sama dengan tempat dia mengajar. Semacam Mr Black bagi Saras 008. Kalo udah ribut di Facebook, kadang gue yang liat komennya sampe ngakak sendiri di dalem kubikel kantor. Yang lucu itu, padahal dia bukan warga DKI, gak punya rumah di Jakarta, dan gak kerja di Jakarta, tapi sampe segitunya ngebelain Koh Ahok. Kadang kalo gue ngeliat si Bapak itu udah terlalu serius debatnya, gue ngingetin dia, "Pak, KTP kita ini Jawa Barat loh...", sambil nepuk pundaknya pake gear sepeda.

Jujur, gue gak peduli dengan pilkadut DKI ini, karena gue sadar gue bukan warga Jakarta dan gue gak bisa ikut milih. Pilgub ini bagi gue hanyalah sebatas selebrasi demokrasi terbesar bagi warga Jakarta, gak lebih. Tapi bagi orang lain mungkin beda, ada yang menganggap pilgub DKI ini masih seputar perang pengaruh 3 kekuatan besar yang dulu sempet berebut kursi di arena Pilpres, ada juga yang menganggap karena DKI itu Ibu Kota negara, makanya semua warga negara berhak ikut campur dalam proses kampanyenya, seperti mereka warga Bekasi dan Tangerang yang ikut-ikutan ribut suruh Ahok Turun dari kursi Gubernur tapi yang ada malah dapet Ahmad Dhani sebagai Cawabupnya.

Seperti yang kita tau, banyak warga Jakarta yang menuntut kepada Cagub-Cawagubnya untuk menuntaskan masalah utama Jakarta, yaitu banjir dan macet. Sejujurnya, kalo kebanyakan warga Jakarta hanya menuntut dan meminta janji Cagub-Cawagubnya untuk menghilangkan macet karena menganggap macet sebagai masalah utama di sana, menurut gue Jakarta itu sama sekali gak butuh Gubernur. Kenapa? Karena sesungguhnya Jakarta itu cuma butuh hari libur. Coba lu liat Jakarta pas hari libur, weekend atau hari libur nasional, pasti sepi kaya kuburan Cina. Jadi Pemprov cukup bikin kalender khusus Ibu Kota yang isinya 365 tanggal merah dan menetapkannya sebagai hari libur khusus Ibu Kota, seperti di Bali atau Papua ketika ada hari besar tertentu. Dengan langkah ini, pemprov DKI bisa menghemat 478 miliar APBD setelah menghilangkan pemilu, serta mengurangi tingkat kerusuhan, mortalitas, dan kesenjangan warga karena perbedaan Cagub-Cawagub. Mending uangnya dipake untuk merelokasi atau menata pemukiman warga yang kena gusur.

Jadi, untuk kalian yang masih ngeributin soal pilgub DKI, apa kalian yakin masih butuh Gubernur untuk mengatasi kemacetan? Bukan hari libur?
Yakin?
Jakarta, 1 Oktober 2016
Penulis : frosthater ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi
Artikel
Hari Libur ini dipublish oleh
frosthater pada hari
Saturday, October 1, 2016. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada
0 komentar: di postingan
Hari Libur
0 comment:
Post a Comment