

Gue masih gak ngerti dari sekian banyak tempat di Endonesa, kenapa harus Jakarta yang jadi ibu kota? Kalo kita ketik "alasan Jakarta sebagai ibu kota" di halaman pencarian Google, yang bakal banyak kita temuin di halaman pertama adalah hal-hal yang kontradiktif -- artikel maupun berita kenapa Jakarta gak layak untuk jadi ibu kota atau malah kenapa ibu kota harus dipindah dari Jakarta. Dalam hasil pencarian itu, ada sebuah blog yang ngasih penjelasan kenapa Jakarta bisa jadi ibu kota Indonesia. Menurut blog tersebut, "Jakarta sebagai ibu kota negara ditetapkan secara otomatis dan historis
setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945. Hal
ini berkaitan dengan sejarah berjalannya penjajahan di Indonesia, di mana Belanda sebagai penjajah menempatkan ibu kota di jakarta. Hal ini
ditandai dengan adanya pusat pemerintahan di kota ini dengan semua
kelengkapan yang menyertainya yaitu gedung-gedung dan kantor
pemerintahan serta adanya istana negara". Jadi, yang nentuin ibu kota itu penjajah?
Terus gue baca paragraf lainnya...
"Kota Jakarta itu dibangun oleh para Freemason Indonesia. Sejak pembangunan Stadhuis, Gedung Gubernur Jenderal Batavia Jakarta ini dulu Gedung Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah (kordinat: 6°8’7.2377”S 106°48’48.164”E) di tahun 1707 hingga sekarang, para Freemasonry ini terus membangun Jakarta dan menyisipkan aneka simbol ‘pagan’nya ke ibu kota. Luas keseluruhan Museum Fatahillah adalah 13.000 meter persegi. Blah... blah... blah... "
Jadi, Jakarta itu dibangun sama kelompok Remason? Penyembah Baphomet? Terus semuanya adalah ulah Kaum Wahyudi? Neoremasil? Kombantrin? Paracetamol?
Setelah gue baca paragraf lainnya, akhirnya gue sadar kalo gue udah membuang 15 menit hidup gue untuk bacaan yang sia-sia.
yang bahkan Buaya air asin di sana aja minta mutasi, ya jelas gue milih Jakarta, karena akses ke homebase yang lebih cepat. Kecuali kalo di Tahuna udah ada Kafra yang nyediain jasa teleportasi atau Pemda di sana telah memberdayakan dukun-dukun dan cenayang setempat untuk memasang portal antar dimensi yang bisa ngebuat jarak menjadi tak bermakna, mungkin bisa gue pertimbangkan.
Sebenernya
gue gak masalah ditempatin di mana aja, asalkan di Jawa sana koneksi internetnya cepet dan stabil, penghuni daerahnya berisi manusia-manusia
beradab, dan mayoritas cewenya kaya Elly Tran Ha. Serius, gue rela. Ketimbang dapet kantor di kota yang dipenuhi hutan beton di mana gue harus macet-macetan sembari ngisep ratusan liter asap karbon yang dihasilkan jutaan Mobil Apansah tiap kali pulang-pergi ngantor.

"Kota Jakarta itu dibangun oleh para Freemason Indonesia. Sejak pembangunan Stadhuis, Gedung Gubernur Jenderal Batavia Jakarta ini dulu Gedung Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah (kordinat: 6°8’7.2377”S 106°48’48.164”E) di tahun 1707 hingga sekarang, para Freemasonry ini terus membangun Jakarta dan menyisipkan aneka simbol ‘pagan’nya ke ibu kota. Luas keseluruhan Museum Fatahillah adalah 13.000 meter persegi. Blah... blah... blah... "
Jadi, Jakarta itu dibangun sama kelompok Remason? Penyembah Baphomet? Terus semuanya adalah ulah Kaum Wahyudi? Neoremasil? Kombantrin? Paracetamol?
Wtf am i reading?
Setelah gue baca paragraf lainnya, akhirnya gue sadar kalo gue udah membuang 15 menit hidup gue untuk bacaan yang sia-sia.
*******
Jakarta itu kota penempatan gue yang pertama. Gue gak tau harus sedih atau seneng sewaktu denger dari temen kalo penempatan definitif gue itu di sana. Bukannya gue songong atau gak bersyukur, tapi hidup di Jakarta itu termasuk salah satu hal yang gue hindari, dan opsi terakhir dari semua kota yang ada di Jawa sampe Bali. Tapi kalo ada yang nyinyir dan maksa gue bandingin Jakarta dengan Tahuna 

Jujur, gue sendiri gak ngerti apa daya tarik Jakarta sehingga jadi magnet untuk para pendatang nyamperin kota ini. Baru 2 taun hidup disni aja, ada banyak hal yang bikin gue gak betah tinggal di Jakarta, di antaranya :
1. Macet

Kalian tau, kalo jumlah kendaraan di Jakarta itu jauh lebih banyak daripada penduduknya? Menurut data taun 2010, jumlah kendaraan di Jakarta adalah 11 juta sementara jumlah penduduknya cuma 9,5 juta jiwa. Berarti banyak sekali orang yang punya kendaraan lebih dari 1, gimana Jakarta gak macet coba?

- Naik helikopter pribadi.
- Naik angkutan umum yang punya jalur sendiri.


- Busway
- KRL


2. Angkutan umum yang busuk




Tetiba ada sekelebat bayangan putih yang lewat dan gue akhirnya inget, "Oh iya, ini Jakarta."

Gue tau kalo di Jakarta itu emang kacau, tapi gue gak nyangka bisa sekacau ini.

3. Kumuh

Masih inget sewaktu KRL masih terjebak di jaman Jahiliyah, di mana ratusan orang mendadak jadi
stuntman film eksyen sambil bertengger diatap KRL tanpa takut kecium
listrik 1500 Volt ?
Kalo kalian sering naik KRL dan duduk di pinggir kaca sambil ngeliatin air ujan ngalir dengan perasaan baper, pasti sesekali kalian pernah liat perumahan kumuh yang jaraknya gak begitu jauh dengan gedung-gedung pencakar langit, serta berjejernya “kandang manusia” di sepanjang tembok yang membatasi lintasan rel kereta, dan rumah-rumah klasik versi "IKEA low budget" yang dibikin dari bambu di sepanjang tepian sungai yang seharusnya jadi daerah resapan air. Pertama kali gue naek KRL ke Tanah Abang, gue kaget waktu liat tenda-tenda beratapkan terpal berjejer di sepanjang tembok lintasan kereta. Aktivitas makhluk di sini pun bermacam-macam, ada yang duduk-duduk di atas kardus bekas, ada yang ngerokok sambil main catur, ada yang nonton TV sambil garuk-garuk manuk, ada yang tiduran

River view Agung Bodomoro versi Ultra Low Budget
Kamu tau, kalo sampah di Jakarta itu gak ada habisnya, jumlah sampah yang dihasilkan manusia di sini per harinya bisa nyampe 6.700 ton. Kalo satu ekor gajah dewasa beratnya 3 ton, berarti ada 2233 gajah bertambah setiap harinya di Jakarta, dan dalam sebulan bisa ada 67.000 gajah di Jakarta. Kebayang gak kalo di Jakarta bertambah 67.000 gajah setiap bulannya ?

Oke, sorry gambarnya gak nyambung...
Sebenernya bukan masalah kumuhnya, tapi joroknya yang jadi masalah. Kadang kelakuan manusianya itu bener-bener gak masuk akal. Waktu itu gue mau berangkat ke kantor, sewaktu lewat pinggir sungai, gue ngeliat ada spring bed mengambang dengan indahnya di tengah sungai. Bayangin. SPRING BED. Bukan sampah plastik atau kertas. Bukan. Tapi SPRING BED. It was a fucking spring bed, gentlemen.


4. Banjir di mana-mana

Ini bukan kolam susu coklat loh...
Dari jaman Firaun sampe VOC Belanda, penyakit turun temurun Jakarta adalah banjir. Banjir di Jakarta itu kalo lagi sakaw tingginya bisa sampe 2 meter, bikin perumahan yang kerendem banjir serasa hidup di Sea World. Pas banjirnya surut, lubang-lubang di jalanan bisa disulap jadi Water Boom atau bahkan ketika arusnya deras bisa dipake buat lomba rafting antar Kecamatan. Padahal kalo di luar negeri, setelah 15 menit ujan reda, airnya langsung ilang, tapi di Endonesa, jalannya yang langsung ilang (ketutup genangan aer). Hanya karena Indonesia adalah negara maritim, gak berarti Ibu kotanya harus digenangi air tiap kali ujan.



Hiks.
5. Brutal
Coba bayangin kamu jadi salah satu pengguna busway yang kejebak di dalem Yellow Box Junction itu, dan kamu kebelet beol.
People get the leader they deserve. Mungkin bener, mungkin juga enggak. Tapi dari yang gue liat di sini, kurang lebih menggambarkan karakteristik warga lokal yang gampang banget naik pitam dan bahkan beberapa ada yang cenderung nyari ribut kalo ada masalah. Ada juga yang lebih gila, gak ada masalah pun kadang dicari-cari sendiri.



Kalo kamu punya sedikit akal sehat dan nyoba berenti dan ngebiarin pejalan kaki itu nyebrang, kamu bakal diklaksonin dari belakang karena dikira bikin macet. Dan gak jarang, kamu bakal dimaki-maki pengendara lain.



Kalo harga paku sekilonya Rp 2000, berarti kalo sehari bisa dapet 5 juta, dan sebulan bisa dapet 150 juta. Dengan duit segitu, itu satu Tim bisa tiap bulan Umrah plus jalan-jalan ke Dubai.
Coba kamu bayangin, warga yang beraktivitas di Jakarta itu kebanyakan bukan orang Jakarta sendiri, melainkan pendatang. Dan dengan kelakuannya (di jalan) seperti itu, gimana kalo mereka pulang kampung dan masih mengalami culture shock dan mengira kampung halamannya itu sama brutalnya dengan Jakarta ? Orang yang tadinya berpikrian waras, kemudian dia ngeliat orang berhenti di depan zebra cross dan gak ada yang ngelarang, malah jadi ikut-ikutan.
Mungkin orang ini berpikir mobilnya terbuat dari Vibranium
Ini contoh nyata, mobil ini parkir tepat di tengah jalur railbus di daerah Solo, Jawa Tengah. Entah kedunguan macam apa yang membuat si supir ini parkir di tengah jalur railbus. Bisa jadi doi berpikir kalo jalanan dimana pun sama liarnya dengan di Jakarta, atau memang karena kemahatololannya yang mengira lintasan kereta itu tidak aktif. Wallahualam.

Di lain cerita...
Gue pernah ke Puskemas di daerah Jakarta, waktu itu ada bocah maenan di depan ruang tunggu, dan bocah itu brisik banget. Jujur aja, gue pengen banget nampol kepala itu bocah pake sabuk tinju. Cuma sayang, ada emaknya di sebelahnya.

Gue langsung berasumsi, "Pantes aja bocah-bocah di sini songong-songong, anak yang pipisnya masih dipegangin biar lurus aja udah ngomongnya anjing-anjingan. Lah emaknya aja gitu."

Ngedenger anak SD teriakin seisi kebun binatang bukanlah hal yang aneh, bahkan ketika kamu lewat ke jalan perumahan di mana banyak anak kecil berlarian saat maghrib. Bukannya ngambil sarung, lari ke Mesjid buat ngaji. Mereka malah maen kejer-kejeran, dan ketika mereka nyaris nabrak kendaraanmu meski kamu nyetir lebih lambat dari kura-kura Galapagos, emaknya malah nyolot dan gak segan ngeluarin seisi Ragunan ke kupingmu. "Monyet! Makanya liat-liat jalan!" *padahal di sekitar kamu ga ada monyet*

Sampe di sini gue sadar, bahwasanya Jakarta itu bukan kota yang cocok untuk membesarkan anak.

6. Polusi

Ihh... Papah kentut ya...
Gue sempet punya pemikiran kalo orang-orang Jakarta ini lebay banget, jalan kaki di trotoar aja pada make masker. Emangnya mau pada nambang Uranium di mana ? Tapi setelah gue ngerasain naek motor dan kejempet macet selama lebih dari 2 jam, gue sadar ternyata di Jakarta masker itu lebih penting daripada make celana dalem.


Air PAM ? Cuma keluar tengah malem, itu pun kalo kerannya dibuka seharian cuma bisa menuhin 1 ember kecil yang kalo dipake cebok pun pasti masih ada eek yang nyelap. Ngarepin air PAM keluar itu sama aja kaya ngarepin nomer togel. Gak akan keluar.

7. Biaya hidup tinggi.

Mungkin kalo semua tas dalam gambar ini dijual, hasilnya cukup untuk beli Alphard.
Selain karena brutalnya kehidupan Jakarta dan sekitarnya, tingginya



Dan yang absurd dari orang Jakarta itu, ada di antara mereka yang punya kendaraan lebih dari melebihi kapasitas parkirnya. Ada juga di antara mereka yang punya mobil
Why don't you just buy a fucking proper house instead of buying a car ?

8. Gak aman.

Orang paling kiri : "Kejer oi! Layangannya jatoh di sebelah empangnye Mak Ijah noh...!"
Siapa sih yg mau tinggal di kota yang tiap kamu mau pergi keluar, naik kendaraan umum, atau sekedar beli sempak ke Indomaret, selalu bikin hati berdebar dengan perasaan was-was sambil ngecekin HP/dompet tiap 5 menit ?
"Duh, hape gue mana nih ?"
"Dompet gue mana nih ?"
"Duh, biji gue tinggal satu ?"
*ngeraba-raba saku*
"Oh, masih ada

"Kok bisa ?"
"Pas saya liat dari atas (lantai 2), motornya udah gak ada. Taunya lagi didorong sama maling di depan rumah yang gede itu"
*gue nengok ke arah rumah mewah yang dia tunjuk*
"Terus gimana, Mas ?"
"Saya teriakin maling. Terus warga pada keluar rumah dan ngejer malingnya. Ternyata malingnya kabur, naik motor sama temennya yang udah nunggu di depan portal."
"Tapi untungnya di depan portal udah ada warga yang nyegat mereka. Terus tau-tau..."
"Terus apa ?"
"Terus mereka duet goyang itik di depan portal..."
*sorry bukan itu maksudnya...*
"Terus yang maling tadi ngeluarin pistol, warga yang ngejer langsung pada ngumpet di balik pot bunga sekitaran rumah"


9. Pengamen dan pengemis palsu

Tau gak, jumlah gelandangan di Jakarta menurut sensus taun 2000 itu ada sekitar 28.364 orang. Gimana sekarang ?
Jumlah pengemis dan gelandangan di Jakarta itu udah terlalu banyak, terlebih ditambah dengan arus urbanisasi yang terjadi setiap lebaran. Dengan iming-iming mencari pekerjaan, tapi karena skillnya gak memadai, akhirnya mereka malah jadi gelandangan.
Karena saking banyaknya, hampir di setiap tempat ada mereka. Di tempat makan, terminal, pelataran mall, Mesjid, apalagi di lampu merah. Yang paling bikin bete itu kalo udah banyak yang ngamen di tempat makan, dapetin kenikmatan dan ketenangan makan itu susah banget. Dalam satu kesempatan makan siang, kita bisa ketemu dua sampe tiga pengamen berbeda tapi gitarnya sama. Udah gitu, kalo kita tolak baik-baik, kadang mereka gak mau pergi, bahkan ada yang malah minta dibayar pake rokok. Absurd.

Pengemis di Jakarta juga gak kalah hebat, dengan jumlahnya yang besar, mereka mampu bergerak secara terstruktur, sistematis, dan masif. Menjaga di hampir semua tempat publik, dari taman kota, pasar, sampe lampu merah. Bahkan jumlah mereka di lampu merah bisa lebih banyak dari personil Polisi yang ngatur lalu lintas. Kalo Polisi yang jaga paling cuma dua sampe tiga orang, sementara pengemisnya bisa sampe satu batalion sendiri.

Yang bikin gemes itu, kalo udah ketemu pengemis-pengemis palsu yang kalo lagi akting ngemis aja keliatan males-malesan. Pengemis macam gini bisa banyak ditemuin di Jakarta dan sekitarnya. Ada juga pengemis berhati mulia dan bikin takjub, yaitu pengemis yang sering muncul di TV atau portal berita karena ketangkep sama Pemda dan memiliki uang puluhan juta di gerobaknya. Dari hasil mengemis itu, dia berniat beli mobil, rumah, bahkan sampe naik haji. Subhanallah, pengemis syariah.

10. Reklamasi

Katanya mau ada bentuk Garudanya, ini cekernya aja gak keliatan
Kamu tau Proyek Reklamasi Teluk Jakarta ?
Giant Sea Wall ?
Lotte Shopping Avenue ?
Borma Cijeurah ?
Oke, sorry... yang 2 terakhir itu ngawur.

Intinya, proyek-proyek yang gue sebut tadi adalah sebuah mega proyek untuk ngebangun 17 Pulau seluas 5.100 Hektar (sepertiganya luas Jakarta Utara saat ini) dan tembok laut


Terus kenapa sih mereka ngotot kalo Reklamasi ini tetep dan harus dikerjain meskipun Pemerintah Pusat udah melarang ? Takut digugat ?
Jawabannya simpel. Karena UANG.

Kamu tau ? Kalo biaya reklamasi itu hanya sekitar 4-6 juta per meter, jauh lebih murah daripada biaya pembebasan lahan yang rata-rata udah di atas 8 juta per meter. Sedangkan harga tanah di Jakarta itu bisa 10-15 juta per meter. Developer itu pinter, ngapain beli tanah atau ngebebasin lahan kalo bikin pulau jauh lebih murah ?

Kalo diitung-itung:
- Keuntungan jika pengembang mampu menjual seluruh unitnya saat presale (meskipun itu ilegal) adalah Hasil Penjualan Unit (561 T) dikurangi Biaya/Investasi reklamasi (Jika sepenuhnya dibiayai Pengembang = 300 T) yaitu sebesar 261 Triliun.
- Keuntungan jika pengembang hanya diperbolehkan menjual semua unitnya setelah proyek ini jadi = 1.122 T - 300 T = 822 Triliun.
Duit segitu kalo dibeliin seblak basah dapet berapa Provinsi?
Yang nikmatin duit segitu banyak siapa aja ? UMKM ? Pengusaha kecil ? Tukang Tahu Bulet ? Yang nikmatin itu paling perusahaan-perusahaan raksasa yang transaksi keuangannya diputer-puter melalui perusahaan cangkang di negara Bebas Pajak, dan pemilik perusahaannya adalah orang-orang super kaya yang gak pernah disorot media, dan belum tentu juga mereka pembayar pajak yang patuh.
Itung-itungan di atas jelas terlalu sederhana dengan asumsi ceteris paribus, dan hanya sebagai gambaran secara kasar aja. Karena pastinya banyak faktor lain yang ngebuat harga jual unit jadi lebih beravarian, seperti waktu transaksi, jenis bangunan (kantor, mall, kuburan, dll), lokasi bangunan, tingkat suku bunga, upah minimum, harga sempak, dan lainnya.
Dengan harga properti yang bisa nyampe 40 juta/meter, kira-kira calon pembelinya makhluk macam apa ? Buruh ? Pegawai kantoran ? PNS ? Pejabat ? Atau orang kaya yang ceboknya aja harus pake Akwa galon disedot make pure-it ?
Katakanlah ada sebiji properti di Pulau Reklamasi dengan harga 5 Milyar. Si A adalah seorang juragan beling dengan penghasilan 30 jt/bulan. Dengan penghasilan sebesar itu, gue rasa si A belum tentu mampu beli properti di Pulau itu, karena pengaruh suku bunga, kenaikan harga tanah, dan faktor lainnya. Kalo si A hanya bisa menyisihkan 20 jt perbulan, maka untuk beli properti itu butuh waktu (5 M / 20 jt) 250 bulan atau 20 taun. Dan gue yakin di taun ke-20 harga propertinya udah 10-15 Milyar. Properti itu bisa aja dibeli oleh si A kalo dia bisa dapet KPR tanpa bunga dengan cicilan sampe seumur hidup. Which is practically impossible.
Terus gimana dengan daya beli makhluk-makhluk fana seperti kita ?
Misalnya si B, seorang makhluk fana yang bekerja sebagai Pegawai dengan gaji bersih 5 juta perbulan. Kalo dia berniat beli properti tersebut, berarti dia harus kerja selama minimal 1.000 bulan atau 83 tahun. Kalo ekspektasi masa kerja seorang pegawai adalah 25 tahun, berarti dia harus menjalani 4 kehidupan, dan di kehidupan yang ke-4 dia baru bisa beli properti. Bayangin, idup-mati-idup-mati sampe 4 kali demi sebuah properti. Duit segitu baru bisa kekumpul kalo selama 4 kehidupan dia gak berkeluarga, cuma makan nasi sama garem, gak pernah ada inflasi, tingkat suku bunga tetap, gak ada kenaikan harga properti, dan itu pun kalo renkarnasinya gak jadi babi.
Intinya, cuma orang-orang kaya yang bisa beli properti itu. Akhirnya, pulau itu pun jadi 17 pulau elit yang hanya dimiliki segelintir orang kaya aja. Terpisah dengan laut, komplek yang tertutup oleh gerbang, dan dijaga oleh pihak keamanan swasta. Pusat perbelanjaan super mewah, taman bermain yang sekali masuk tiketnya setara UMR daerah tertinggal, dan Foodcourt yang semua menu makanannya pake bahasa inggris. Gak akan ada tuh yang namanya penjual gorengan, tukang seblak basah, apalagi mamang tahu bulet yang keliling pake mobil bak terbuka. Tinggal ditambah jembatan penghubung yang bisa diangkat, udah persis seperti kota di tengah Wall Sina di Attack on Titans.
Harga tanah di Jakarta yang sangat mahal itu udah gak aneh, yang aneh itu kalo tanahnya belum ada tapi udah diperjual-belikan, bahkan calon penghuninya pun udah share macem-macem tentang properti tersebut di Kaskus dan grup Line. Kalo dibaca dari halaman ke halaman, itu lumayan seru tentang proses pembangunan di salah satu Pulau Reklamasi itu. Entah kenapa, kadang geli sendiri bacanya.
Gue sendiri kadang bingung sama orang-orang gak berkepentingan yang ngebelain proyek Reklamasi. Emang dapet apa sih ?
Kalo alasan reklamasi ini untuk menahan banjir besar yang diperkirakan mampu menenggelamkan Jakarta, kenapa harus bikin pulau yang isinya mall sama apartemen ? Bukannya bikin bendungan yang di dalemnya bisa ngeluarin landasan pacu untuk Helicarriers. Belanda aja yang negaranya di bawah permukaan laut gak bikin pulau.
Tau gak? Untuk ngebangun 2700 Ha di Pulau Reklamasi diperlukan seenggaknya 330.000.000 meter kubik material yang diambil dari tempat lain. Entah Gunungnya siapa yang diremas dan dikeruk, yang jelas ini ngerusak alam, karena material sebanyak itu mungkin jumlahnya bisa setara beberapa bukit. Jadi jangan heran kalo nantinya setelah Pulau Reklamasi ini jadi, banyak bukit-bukit di sekitar Jabodetabek yang ilang.
Pertanyaannya, buat apa bikin pulau yang tanahnya diambil dari dataran sekitar dan berpotensi ngerusak dataran tersebut ? Itu sama aja kaya nambal saku celana make kain yang diambil dari bawah selangkangan. Mungkin saku kamu gak akan bolong lagi, tapi biji kamu ? Yakin aman ?
Berapa hewan/satwa yang kehilangan ekosistemnya akibat reklamasi ini ? Belum lagi ilangnya mata pencaharian penduduk yang mencari nafkah dari SDA, seperti nelayan, pemburu, dan peternak. Atau klub sepeda Downhill dan Motor Trail yang kehilangan lahan buat melakukan hobinya. Padahal kalo Jakarta tenggelam (naudzubillah), siapa yang paling merugi secara materil? Rakyat kecil? Pemerintah? Atau pemilik rumah berpilar di daerah elit, pengelola apartemen mewah yang dibangun dari tanah sengketa, bos-bos properti, pemilik hotel dan mall, dan orang-orang kaya yang gedung kantornya udah kaya markasnya S.H.I.E.L.D?
Bayangin kalo itu semua tenggelam. Pooff.... tanah yang tadinya bernilai milyaran berubah jadi nol.
Yang nikmatin duit segitu banyak siapa aja ? UMKM ? Pengusaha kecil ? Tukang Tahu Bulet ? Yang nikmatin itu paling perusahaan-perusahaan raksasa yang transaksi keuangannya diputer-puter melalui perusahaan cangkang di negara Bebas Pajak, dan pemilik perusahaannya adalah orang-orang super kaya yang gak pernah disorot media, dan belum tentu juga mereka pembayar pajak yang patuh.

Dengan harga properti yang bisa nyampe 40 juta/meter, kira-kira calon pembelinya makhluk macam apa ? Buruh ? Pegawai kantoran ? PNS ? Pejabat ? Atau orang kaya yang ceboknya aja harus pake Akwa galon disedot make pure-it ?


Misalnya si B, seorang makhluk fana yang bekerja sebagai Pegawai dengan gaji bersih 5 juta perbulan. Kalo dia berniat beli properti tersebut, berarti dia harus kerja selama minimal 1.000 bulan atau 83 tahun. Kalo ekspektasi masa kerja seorang pegawai adalah 25 tahun, berarti dia harus menjalani 4 kehidupan, dan di kehidupan yang ke-4 dia baru bisa beli properti. Bayangin, idup-mati-idup-mati sampe 4 kali demi sebuah properti. Duit segitu baru bisa kekumpul kalo selama 4 kehidupan dia gak berkeluarga, cuma makan nasi sama garem, gak pernah ada inflasi, tingkat suku bunga tetap, gak ada kenaikan harga properti, dan itu pun kalo renkarnasinya gak jadi babi.

Intinya, cuma orang-orang kaya yang bisa beli properti itu. Akhirnya, pulau itu pun jadi 17 pulau elit yang hanya dimiliki segelintir orang kaya aja. Terpisah dengan laut, komplek yang tertutup oleh gerbang, dan dijaga oleh pihak keamanan swasta. Pusat perbelanjaan super mewah, taman bermain yang sekali masuk tiketnya setara UMR daerah tertinggal, dan Foodcourt yang semua menu makanannya pake bahasa inggris. Gak akan ada tuh yang namanya penjual gorengan, tukang seblak basah, apalagi mamang tahu bulet yang keliling pake mobil bak terbuka. Tinggal ditambah jembatan penghubung yang bisa diangkat, udah persis seperti kota di tengah Wall Sina di Attack on Titans.

Gue sendiri kadang bingung sama orang-orang gak berkepentingan yang ngebelain proyek Reklamasi. Emang dapet apa sih ?




Bayangin kalo itu semua tenggelam. Pooff.... tanah yang tadinya bernilai milyaran berubah jadi nol.

Duit 300 Triliun itu gak sedikit loh. Dengan uang segitu, bayangin bisa dipake untuk bangun berapa sekolah ? Rumah sakit ? Jalan tol ? Rel Kereta ? Jutaan gerobak Tahu Bulet dan hal lainnya untuk pemerataan pembangunan yang gue rasa lebih jelas siapa penerima manfaatnya. Jadi, seandainya 300 Triliun ini bener-bener dipake buat ngebangun 17 Pulau Reklamasi dan Giant Sea Wall untuk mencegah tenggelamnya Jakarta.
The question is, are they really worth saving ? Can they even be saved ?
Because some people already said, this city is beyond saving...
*******
Mungkin, masih banyak lagi alesan kenapa kota ini bener-bener kacau sehingga penduduk aslinya sendiri berhijrah ke daerah lain. Bukan hanya dari tata kotanya aja yang semrawut, tapi dari individunya juga. Kadang gue rasa, gak heran juga Pak Ahok sering marah-marah dengan kelakuan warganya yang semrawut, karena gue yakin kita yang pernah tinggal di Jakarta pun kadang ngerasain hal itu. Tapi tetep aja, itu gak akan pernah merubah prinsip gue, bahwa di Pemilu Gubernur taun depan gue gak akan pernah milih Ahok sebagai Gubernur Jakarta, soalnya KTP gue Jawa Barat.

Di sekitar Ring I, 23 Mei 2016

Salam Ganteng,
0 comment:
Post a Comment